Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Yesus Alaihissalam, terdapat beberapa dinasti yang turut serta dalam memperkaya khazanah sejarah bangsa Batak. Berikut adalah dinasti-dinasti tersebut yang membangun peradaban Batak.
DINASTI SAGALA (SORIMANGARAJA)
1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala. Sudah Masuk Islam Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal. Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di SSLM, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor. Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri. Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo dusun, juga akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu. Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.
Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang-orang marga Si Manullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang keempatbelas.
Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mughayat Syah, Panglima Manang Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508 M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan tarikh dan penanggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh, yang sudah banyak tenaga ahlinya menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut. Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang Datu marga Sinambela. Dinasti Sisingamangaraja sendiri memerintah persis dalam tahun-tahun yang sama dengan pemerintahan Dinasti Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1904 M). Oleh sebab itu, terdapat banyak angka-angka tahun di dalam tarikh hijriah perihal raja-raja Sisingamaraja ada di dalam buku-buku hikayat perang Aceh. Raja-raja Sisingamangaraja sendiri selalu menuliskan penanggalan mereka dalam tarikh hijriyah. Misalnya, stempel kerajaan yang bertanggal hijriyah. Saat kejatuhan dinasti Sorimangaraja, mereka kemudian, pindah ke tanah Batak Selatan. Di sana mereka berusaha untuk menampilkan kembali kejayaan mereka yang dulu. Mereka sangat disegani oleh raja-raja lokal di Tapanuli Selatan sekarang ini. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI. Dia migrasi ke selatan melewati tanah Batak yang aman dalam kekuasaan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) dan Dinasti Pardosi. Raja Soambaton diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya; Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon. Di daerah ini Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon dalam sebuah perayaan Tabut Hassan Hussein memeluk agama Islam dan keduanya menikah dengan putri-putri Batak Syiah di teluk Sibolga. Keduanya membangun kampung-kampung komunitas Batak di Teluk Sibolga dalam bentuk masyarakat maritim. Mereka banyak menjadi pelaut dan bekerja pada kapal-kapal musafir asing yang singgah di daerah tersebut. Komunitas mereka ini berkembang sampai ke daerah Ujung Karang yang sekarang bernama Padang. Orang-orang Batak yang berasal dari Humbang, Toba dan Silindung ini saat itu menganut agama Islam mazhab syiah karmatiyah lengkap dengan perayaan Tabuik-nya (Tabuk Hassan Hussein). Raja Soambaton sendiri memilih untuk meneruskan perjalanannya ke Sipirok melalui Batangtoru dan Marancar. Di sana dia berkesempatan menjadi seorang Ahli Hujur Panaluan dalam tradisi perayaan ritual Upacara Gajah Lumpat. Berkat posisinya tersebut dia akhirnya diangkat menjadi Datu Nahurnuk oleh penduduk lokal di Sipirok yang kebanyakan bermarga Siregar. Dia kemudian membangun singgasananya di Sampean, di atas bukit Dolok Pamelean di bawah pohon Bona Ni Asar. Dia resmi diakui oleh raja-raja lokal di Sipirok menjadi Sorimangaraja yang ke-91.
Pasar Sipirok dan Dolok Pamelean menjadi pusat pemerintahan yang ramai. Pada tahun 1816, Sorimangaraja CI (ke-101) menjadi pemeluk agama Islam dengan ajakan Raja Gadumbang. Dia mengucapkan syahadat dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala.
Pada tahun 1834, hegemoni raja-raja Batak yang menjadi kaum adat mendapat tantangan dari kaum Padri yang berasal dari Sumatera Barat. Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Sejarah Batak pada tahap ini seakan berhenti dengan intrusi orang-orang Eropa; Inggris dan Belanda. Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist. Paska kemerdekaan RI, orang-orang marga Sagala yang kristen yang jumlahnya sedikit hidup dengan aman penuh toleransi dari saudara-saudara mereka di Sipirok, tepatnya di kampung Sampean yang praktis seluruhnya beragama Islam.
DINASTI PASARIBU (HATORUSAN) Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat. Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur. Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.
1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas. Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh. Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri. Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut. Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan juga mendapat pemberontakan di dalam negeri. Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara. Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).
Selain nama-nama di atas, berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk. DINASTI PARDOSI (POHAN) Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.
1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosin Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H) Sumber: Naskah Jawi yang dialihtuliskan dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus. Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba untuk merantau. Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya; bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba. Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di dalamnya Barus. Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora. Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi. Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti. Setelah Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta Ginjang, kota yang baru dibangunnya. Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat. Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri kedua puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai. Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus. Guru Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang dinamakan Lobu Tua. Di sana dia berjumpa dengan komunitas Tamil dan Hindu yang kapalnya terdampar. Guru Marsakot dijadikan raja mereka berdasarkan tuntunanya bahwa keluarganya mempunyai tanah tersebut. Maka tanah tersebut berkembang menjadi negeri yang makmur dengan nama Pancur atau Fansur menurut istilah Arab dikenal juga bernama Fanfur, yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang. Kedua cabang keluarga tersebut tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya. Maka ketika anak Pucaro Duan, Raja Tutung (Raja Tuktung), terlibat dalam perselisihan dengan anak dan pengganti Si Purba, cabang keluarga dari Lobu Tua datang membantunya. Saat Guru Marsakot wafat, ia digantikan oleh anaknya, Tuan Namura Raja. Anaknya, Raja Kadir, adalah raja pertama yang menjadi Muslim. Akhirnya Fansur diserang oleh orang “Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua pemukiman baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.
Pada masa inilah, seorang putera Pasaribu, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu mendirikan pemukiman di Barus bersama pengikutnya yang datang dari negeri Tarusan, di Minangkabau dan singgah terlebih dahulu di Bakkara. Mereka adalah keturuna Dinasti Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti, putera Tatea Bulan. Saat pemukiman Sultan Ibrahimsyah telah berkembang, dia baru menyadari bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasainya. Anak dari Sultan Mualif, pengganti Raja Kadir setelah wafat, Sultan Marah Pangsu Pardosi, menggugat Ibrahimsyah yang menetap di negerinya. Namun Ibrahimsyah mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa dialah yang menjadi pemiliknya. Kompromipun terjadi dan didirikan dua pemukian di barus, yang satu di Hulu dan yang lain di Hilir. Sultan Ibrahimsyah kemudian menikah dengan Putri Sultan Marah Pangsu. Dalam perkembangan politik berikutnya, saat wafatnya Sultan Marah Pangsu, Ibrahimsyah membunuh semua anak laki-laki Marah Pangsu agar dia bisa menjadi satu-satunya raja di Barus. Ternyata otoritas kerajaan hulu dipegang oleh saudara Marah Pangsu yaitu Sultan Marah Sifat yang telah mengungsi dan membuka wilayah baru bernama Si Antomas (Manduamas?) pada tahun 710 Hijriyah. Marah Sifat berkoalisi dengan Aceh untuk memerangi Ibrahimsyah Pasaribu. Sultan Aceh menyatakan perang kepada penguasa tunggal Barus, Ibrahimsyahpun dipenggal dalam sebuah perang penyerbuan ke Barus pada tahun 785 Hijriyah. Kepalanya dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendang dan menghinanya. Sebagai akibat perlakukan Ibrahimsyah yang marah dan tidak mau menyesal. Namun, karma terjadi kepara penguasa Aceh tersebut dan dia jatuh sakit. Supaya sembuh, dia memutuskan untuk membayar kerugian kepada kepala tersebut. Kepala Sultan Ibrahimsyah dikirim kembali ke Barus dengan kekhidmatan dan upacara kerajaan, diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusan membayar upeti kepada Aceh. Sesudah itu kedua keluarga raja Barus; Pardosi dan Pasaribu, hidup berdampingan selaman beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Marah Sifat digantikan oleh anaknya Raja Bongsu, Sultan Marah Bongsu. Ibrahimsyah digantikan oleh Sultan Yusuf dengan gelar Raja Uti yang kemudian gugur di Aceh ketika membalas dendam atas kematian ayahnya. Dia digantikan oleh Sultan Alam Syah yang mempunyai dia anak Raja Marah Sultan dan Sultan Nan Bagonjong Pasaribu.
Pada masa ini peraturan dan undang-undang negara dikodifikasi. Termasuk adat dan tatacara upacara dan pengangkatan pembesar. Hukum dan undang-undang yang berlaku adalah perpaduan adat Batak, adat Melayu, adat Aceh, adat Hindu dan adat orang Islam. Lebih jelas mengenai detail undang-undang tersebut lihat naskah asli dari hikayat tersebut. Pada tahun 1050 Hijriyah atau atahun 1644 M, Belanda datang dan meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus. Kronik dalam buku hikayat ini juga menceritakan bahwa kepemimpinan raja-raja belia dari hulu dengan bendahara (perdana menteri) berasal dari hilir selama mereka belum akil balig. Yang pertama dari bendahara itu ialah Marah Sultan, wali untuk anak Maharaja Bongsu, Raja Kecil. Sultan Maharaja Bongsu sendiri pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Pada waktu itu Marah Sultan beristrikan saudari Raja Kecil. Sesudah Marah Sultan wafat, anaknya, Sultan Marah Sihat, memfitnah Raja Kecil; kepada Daulat, raja Minang, diceritakan bahwa Raja Kecil tidak mengenal agama dan tidak mau mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan. Termakan oleh fitnah jahat tersebut, Daulat membunuh Raja Kecil. Pendukung Kesultanan Pardosi, yakni orang-orang marga Manullang mengajak Belanda untuk memerangi Raja Daulat. Dia akhirnya melarikan diri. Meskipun demikian Sultan Marah Sihat menyarankan agar Raja Muda di Hulu Sultan Marah Pangkat Pardosi yang diangkat menjadi pengganti raja dan bukan anaknya sendiri yang bernama Sultan Larangan Pasaribu. Sultan Pangkat dianggapnya layak menjadi raja tunggal sebab dialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat.
Sultan Marah Pangkatpun diangkat menjadi raja pada tahun 1170 Hijriyah. Setelah dia wafat dia digantikan oleh putera mahkota Sultan Baginda Pardosi pada tahun 1213 Hijriyah. Di masa kepemimpinan Marah Pangkat, dia melakukan banyak pembaharuan politk dan hukum. Diantaranya, beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan kerajaan dan adat yang berlaku kepada rakyatnya di Barus. Pada tahun 1194 Hijriyah, perusahaan Belanda hengkang dari Barus karena tumpur dan bangkrut. Beberapa tahun sebelum abad ke-20 mereka kembali lagi. Raja di Hilir, Sultan Larangan marah dan kecewa dengan sikap ayahnya tersebut. Maka dia meninggalkan Barus dan menetap di Sorkam. Di sana dia menamakan diri Tuanku Bendahara meskipun dia tidak memegang tampuk pemerintahan. Kompetisi kekuasaan antara penguasa Hulu dan Hilir yang digambarkan sebagai pertikaian Barus dan Sorkam berlangsung beberapa generasi. Di Barus, putera Sultan Marah Pangkat yakni Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-perjanjian yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak pedalaman. Raja Adil diangkat menjadi raja pada tahun 1213 Hijriyah (1789 M). Pada tahun 1241 H (1824 M) digantikan oleh anaknya sendiri Sultan Sailan Pardosi. Di Sorkam sesudah Sultan Larangan wafat, saudaranya Sultan Kesyari Pasaribu mengadukan kepada komunitas Batak Pasaribu kedudukannya yang rendah, wewenangnya yang kurang besar dan alat kerajaan yang tidak boleh dipakainya. Dia berhasil, akhirnya dia diangkat menjadi Raja Bukit di Sorkam, meskipun raja Barus tidak mengakui otoritasnya. Sultan Kesyari wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Main Alam. Dia terlibat perselisihan dengan kesultanan Pardosi, Sultan Sailan yang bergelar Tuanku Raja Barus. Tuanku Raja Barus tidak mengijinkan Sultan Main Alam Pasaribu untuk menggunakan alat-alat dan simbol-simbol kerajaan dalam pernikahannya. Sultan Pasaribu ini meminta pertolongan politik dengan komunitas Meulaboh (Aceh) yang berdomisili dalam koloni mereka di Kota Kuala Gadang, Barus. Main Alam mendapatkan keinginanya saat dia diakui menjadi raja mereka dan memberinya gelar Tuanku Bendahara. Perang meletus. Antara Pasukan Pardosi dengan Pasukan Pasaribu yang didukung prajurit-prajurit Meulaboh dan Aceh dari Kuala Gadang. Dikisahkan, orang Meulaboh ternyata juga ingin mendapat pembagian kekuasaan di Barus. Sultan Baginda Pardosi wafat pada tahun 1241 Hijriyah dan digantikan oleh Putera Sultan Sailan. Setelah Sultan Sailan wafat dia digantikan oleh putranya Sultan Limba Tua. Di era ini Belanda sudah mulai berkuasa. Mereka berhasil menduduki Barus dengan mengadu domba antara penguasa Hilir dan Hulu Barus yang selama beberapa generasi saling bunuh-bunuhan walau mereka sudah terikat tali perkawinan satu sama lain. Selama tiga generasi berikutnya Kesultanan Batak yang dipegang oleh Kesultanan Pardosi dari Tukka dan Kesultanan Pasaribu keturunan Kerajaan Hatorusan, Raja Uti, pun akhirnya punah. Kesultanan Pardosi berakhir ditangan generasi terakhir Sultan Marah Tulang yang menjadi raja pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856. Kesultanan Pardosi, mulai dari Raja Kadir Pardosi yang masuk agama Islam sampai generasi terakhir berasal dari satu keluarga dan pewarisan tahta yang dipegang oleh satu keluarga. Yaitu orang Batak yang berasal dari Tukka.
DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA)
SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 15502.
SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1553.
SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1674.
SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-16675.
SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-17306.
SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-17517.
SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-17718.
SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-17889.
SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-181910.
SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841.
SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1872.
SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat. Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja.
Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur). Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak. Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII. Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak. Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.
Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal.
Ketujuh simbol tersebut adalah:
pisau (knife),
spear (tombak),
sorban atau surban (turban),
ikat-scarf, mat (sejenis lapik),
jug (kendi) dan
gajah putih.
Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon. Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah. Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak. Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907). Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu;
Kelompok Bakkara,
Sihite,
Simanullang,
Sinambela,
Simamora dan
Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII). Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara. Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing). Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda. Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan. Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak. Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah: Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan. Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati dan tua”-na so olo mate na so olo matua Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi. Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
DINASTI SINAMBELA (Guru Patimpus di Medan) Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel–ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya. Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi. Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II. Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti. Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut. Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu. Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi. Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun. Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :
Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.
1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut ‘Makam Melintang’, anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil11. Datuk Gombak12. Datuk Hafiz Harberhan13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam “Nota Over De Landsgrooten van Deli”, juga dalam “Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928″ Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib. Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu. Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan. Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur’an Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur’an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz. Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili. Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590) BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda. Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama “Komisi Pengelola Dana Kotamadya”, yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan “Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329″, lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli” (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika “Cultuuraad” (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975. Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590. Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa. Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan. Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut “Hikayat Aceh”, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16.
Tulisan ini dikutip dari: http://bakkaranauli.wordpress.com/2011/10/28/para-raja-raja-batak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar